sumber: kompas.com
Tahun 2008 menandai berakhirnya bulan madu antara Departemen Kesehatan dan PT Askes dalam pengelolaan program Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin. Peran PT Askes yang semula mengelola program itu secara keseluruhan kini dibatasi hanya mengurus manajemen kepesertaan.
Dalam program Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin (Askeskin) yang dimulai tahun 2005, pengelolaan program dilakukan PT Askes, termasuk manajemen kepesertaan dan verifikasi tagihan klaim pelayanan kesehatan bagi peserta.
Untuk memperluas cakupan layanan, jumlah warga miskin yang ditanggung, dari 36,14 juta jiwa, meningkat terus hingga 76,4 juta jiwa pada tahun 2007.
Masalahnya, niat mulia pemerintah itu justru membebani rumah sakit yang melayani pasien Askeskin karena penyaluran dana tak lancar akibat klaim yang terlalu besar dan kendala birokrasi. Hampir semua punya piutang— ada yang mencapai belasan miliar rupiah—sehingga mengganggu operasional mereka.
Pendataan peserta Askeskin tak kunjung kelar. Sebab, pemerintah kabupaten/kota memiliki data penduduk miskin berdasarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, sedangkan Askeskin sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS).
Karena itu, Depkes memutuskan rakyat miskin yang tidak punya kartu bisa mendapat layanan kesehatan gratis asalkan punya surat keterangan tak mampu, tetapi itu membuka peluang penyalahgunaan Askeskin.
Karena menilai pengelolaan Askeskin kurang optimal, Depkes menggantinya dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) tahun ini. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam suatu kesempatan menyatakan, Askeskin rawan penyimpangan. Mekanisme Jamkesmas diklaim antikorupsi. Titik temu mengenai besar premi Askeskin yang diajukan Askes dan Depkes tetap sulit tercapai.
Pergantian mekanisme pengelolaan itu menyisakan tunggakan klaim Askeskin 2007 sebesar Rp 1,17 triliun—kemudian dibayar Depkes setelah audit selesai.
Pada program Jamkesmas, dana langsung disalurkan kepada pemberi pelayanan kesehatan. Prosesnya, dari kas negara ke puskesmas dan jaringannya melalui PT Pos Indonesia atau langsung ke rekening bank rumah sakit. Pembayaran klaim pelayanan langsung dari kas negara ke rekening setiap rumah sakit, tidak lagi melalui PT Askes.
Pemerintah juga memberlakukan tarif paket pelayanan dan pelaksana verifikasi di tiap rumah sakit. Tim pengelola dan tim koordinasi dibentuk di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota. Kini PT Askes sebatas mengurus administrasi manajemen kepesertaan.
Jumlah sasaran 76,4 juta penduduk miskin dan hampir miskin berdasarkan data BPS 2006. Bupati atau walikota menetapkan peserta Jamkesmas—jika peserta melebih kuota—kelebihannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, belum semua daerah mengalokasikan dana khusus untuk itu.
Pergantian mekanisme pengelolaan ini menuai kritik. Selain dinilai kurang persiapan, kemampuan para verifikator dipertanyakan dan klaim pelayanan bisa meningkat jika penyedia layanan memilih paket lebih mahal.
Menurut guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, di banyak negara pengelolaan lebih efisien dan mekanisme kontrol terjadi jika ada pihak ketiga.
Jamkesmas juga dinilai bukan solusi total pemerataan akses pelayanan kesehatan bagi penduduk. Menurut Laksono Trisnantoro dari Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, program itu justru memperburuk ketidakadilan geografis. Sebab, rakyat miskin atau menengah di kota besar yang dekat dengan rumah sakit dan tenaga kesehatan akan mendapat akses lebih baik layanan kesehatan dibandingkan yang tinggal di daerah terpencil atau jauh dari kota.
Maka dari itu, pemberian layanan kesehatan perlu dilakukan sesuai kebutuhan daerah. Selain itu, sistem jaminan sosial nasional sudah saatnya diterapkan. Dewan Jaminan Sosial Nasional yang baru dibentuk punya tugas berat segera merealisasikan sistem itu agar semua penduduk Indonesia mendapat jaminan kesehatan sesuai amanat konstitusi.
Epidemi HIV
Sementara itu, kisah terhambatnya akses para korban terinfeksi HIV di Tanah Air terhadap obat-obatan antiretroviral (ARV) selama tahun 2008 telah beberapa kali terjadi. Krisis ketersediaan obat-obatan ARV baik lini satu maupun lini kedua yang baru-baru ini terjadi adalah yang terparah sejak obat-obatan itu disubsidi penuh pemerintah.
Saat ini epidemi HIV/AIDS di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Hasil estimasi, populasi rawan tertular HIV diperkirakan 193.000 orang. Menurut data Departemen Kesehatan, hingga Maret 2008 secara kumulatif jumlah kasus infeksi HIV dilaporkan 6.130 orang, sedangkan jumlah kasus AIDS 11.868 orang. Banyak di antaranya mengalami infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, diare kronis, dan dermatitis.
Cara penularan kasus AIDS kumulatif antara lain melalui jarum suntik pada pengguna narkoba (49,2 persen), heteroseksual (42 persen), dan sisanya homoseksual. Proporsi kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 20- 29 tahun (53,62 persen) dan terbanyak dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, dan Kalimantan Barat.
Untuk meningkatkan akses orang dengan HIV/AIDS (ODHA) terhadap obat-obatan antiretroviral, pemerintah memberi subsidi penuh pengadaan ARV. Sejak tahun 2004, ARV didistribusikan Depkes langsung ke rumah sakit tujuan. Pembiayaannya bersumber dari bantuan Dana Global untuk Penanggulangan AIDS, Tuberkulosis dan Malaria (GFATM), ditambah anggaran pemerintah yang terbatas. Per April 2008, jumlah ODHA pengguna ARV sebanyak 8.145 orang.
Ketersediaan obat ARV berulang kali tersendat beberapa tahun terakhir. Banyak ODHA terancam putus berobat. April lalu, krisis ketersediaan obat efavirenz terjadi di beberapa rumah sakit dan baru-baru ini terjadi kelangkaan hampir semua jenis obat antiretroviral. Bahkan, ada daerah yang kosong persediaannya.
Ketika ketersediaan obat telah kritis, para ODHA terpaksa saling meminjam obat ARV agar tidak putus berobat. Sejumlah dokter merogoh kantong pribadi untuk membeli obat-obatan ARV, beberapa rumah sakit dan pemerintah daerah juga berinisiatif antara lain dengan subsidi silang, menyediakan stok cadangan, dan dana khusus sebagai antisipasi.
Terus terulangnya krisis ketersediaan obat ARV terjadi akibat lemahnya manajemen pendanaan, pengadaan, dan distribusi ARV sehingga terjadi keterlambatan pasokan. Dalam kasus terakhir, krisis itu terjadi karena terbatasnya anggaran pengadaan, pencairan anggaran butuh waktu lama, pembelian obat harus melalui tender, dan birokrasi yang panjang.
Aturan GFATM juga mempersulit sebab lembaga donor global itu hanya mau membeli obat yang memenuhi kualifikasi WHO sehingga Indonesia harus mengimpor obat ARV dari India meski telah bisa memproduksi sendiri melalui PT Kimia Farma. GFATM juga mensyaratkan obat ARV harus bebas bea masuk karena untuk kepentingan kemanusiaan. Butuh waktu sebulan mengurus surat bebas pajak-obat-obatan itu jadi sering tertahan di bandara.
Padahal, agar dapat bertahan hidup, seseorang terinfeksi HIV harus terus mengonsumsi obat- obatan ARV. Saat ini para ODHA kebanyakan memakai ARV lini pertama. Jika putus berobat, virus jadi resisten terhadap ARV lini pertama. Pasien harus beralih ke obat lini kedua yang harganya lebih mahal, pemakaiannya lebih rumit, dan menimbulkan efek samping.
Agar tak terulang lagi masalah itu, pemerintah harus segera membenahi manajemen pengadaan dan distribusi ARV, termasuk menambah anggaran dan menyediakan stok cadangan di daerah. Apalagi, diperkirakan pada tahun 2009 kebutuhan obat- obatan itu akan meningkat seiring bertambahnya jumlah ODHA. Perluasan cakupan pemeriksaan HIV dan penerapan panduan baru WHO merekomendasikan pemberian ARV kepada pasien lebih dini.(EVY RACHMAWATI)